Minggu, 31 Mei 2009

Perkembangan pendidikan Indonesia dewasa ini

Beberapa tahun silam, terjadi sebuah peristiwa yang sempat membuat geger banyak orang di Indonesia. Mungkin hampir semua lapisan masyarakat Indoensia sudah mengetahui tentang kasus penganiyayaan dari siswa (praja) senior terhadap junior di STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri). Belum genap satu tahun, Akademi Kepolisian (Akpol) juga sudah mulai menyusul STPDN dalam memperbanyak catatan hitam tindak penganiyayaan siswa di Indonesia. Beberapa SMA Negeri di Jakarta pun sepertinya sudah menjadi hal rutin bagi mereka untuk melakukan tawuran antar geng sekolah di jalanan umum. Bahkan tak hanya di ibukota, kini kota-kota kecil seperti Cilacap, Tegal, Magelang, dan lain sebagainya pun sudah mulai ikut-ikutan oleh ‘hobi’ baru masyarakat remaja metropolitan. Ibarat keledai, tidak lama setelah itu, entah mengapa STPDN yang telah megganti nama menjadi IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) dengan maskud memperbaiki citra di mata masyarakat justru mengulangi kesalahannya yang sama di tahun 2006 dengan kasus baru yang sebenarnya sudah ‘lama’, yaitu terbunuhnya salah seorang Praja (sebutan untuk siswa yang bersekolah di tempat tersebut) IPDN asal pulau Sulawesi, Cliff Muntu, yang sebenarnya tidak didasari oleh alasan yang rasional dan logis.

Banyak orang bilang, kejadian-kejadian semacam itu tidak sepantasnya terjadi untuk para anak muda Indonesia. Pernahkah kita berpikir, sebenarnya apa yang salah dengan sistem pendidikan kita? Apa sebenarnya yang menyebabkan pemuda-pemuda Indonesia menjadi bertindak sebegitu brutal dan gila-nya, sehingga mata hati mereka seolah-olah tertutup oleh dinding hawa nafsu yang selalu menyelimuti sanubari ? Apakah semua kejadian ini ada sangkut pautnya dengan sistem pendidikan yang ada di Indoensia ? Mungkinkah semua ini ada hubungannya dengan aturan-aturan yang diberlakukan di sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya ?

Memang, saat ini perkembangan pendidikan di Indoenesia sudah sampai pada tingkat yang bisa dibilang ‘memuaskan’ untuk ukuran negara berkembang. Berbagai kejuaraan dan kemenangan dalam event olimpiade sains tingkat internasional pun kini sudah menjadi hal yang biasa bagi para siswa- siswa SD, SMP, maupun SMA di Indonesia. Demikian pula dengan standar soal dan materi yang sudah bisa disamakan dan memenuhi standar internasional. Bahkan ada beberapa yang sudah mengungguli beberapa negara lainnya di dunia. Akan tetapi, mengapa berbagai tindakan – tindakan tak terdidik masih terjadi di tempat-tempat yang seharusnya membentuk anak didiknya menajdi siswa yang berkualitas, terhormat, dan terdidik ?

Sebenarnya, jika kita ingin dan mau mengkaji lebih lanjut, serentetan peristiwa pelanggaran aturan-aturan di atas sebenarnya bukan kesalahan dari pihak siswa sepenuhnya, seperti yang digembor-gemborkan banyak orang. Tetapi, kita juga tak bisa menyalahkan pihak sekolah yang telah berusaha menyajikan sistem pendidikan yang sebaik-baiknya, walaupun masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan kecil yang nantinya mungkin juga akan menjadi besar, karena sekolah telah berusaha untuk memberi yang terbaik kepada bangsa ini. Mungkin, kita lebih bisa dan lebih adil jika kita mengulas lebih banyak tentang sistem pendidikan yang ada saat ini, sampai-sampai kejadaian-kejadian seperti itu bisa terjadi. Ada apa sebenarnya dengan sistem pendidikan di Indonesia ?


Salahkah Sistem Pendidikan Indoensia ?

Tersebut di atas bahwa kejadian-kejadian semacam itu erat kaitannya dengan sistem yang diberlakukan di sekolah tersebut. Akan tetapi, kini timbul sebuah pertanyaan, apakah sistem yang digunakan selama ini mengandung banyak kesalahan-kesalahan sehingga kejadian-kejadian seperti itu terjadi ? Perlukah sistem Indonesia saat ini di-reset ? Atau bahkan perlukah tata cara pengajaran dan pendidikan di Indoensia di-format ulang ? Perlukah diadakan semacam tindakan ‘cut generation’, sehingga kejadian – kejadian penganiyayan bersifat senioritas semacam itu tak akan terjadi lagi ?

Yang perlu ditekankan di sini adalah tentang aturan-aturan main yang diberlakukan dalam sistem pendidikan Indonesia selama ini. Aturan-aturan yang berlaku di suatu sekolah atau lembaga pendidikan lainnya pada umumnya biasa diesebut dengan tata tertib. Kebetulan saya bersekolah di sekolah berasrama (borading school) yang bisa dibilang sangat kental dengan unsur peratutan yang ketat. Di sekolah saya, aturan tersebut dimasukkan dan dikelompokkan ke dalam sebentuk peraturan yang dibukukan, yaitu PUDD (Peraturan Urusan Dinas Dalam) dan Perdupsis (Peraturan Kehidupan Siswa). Dan dalam kedua buku itu diterangkan sangat jelas tentang aturan-aturan yang dikemukakan untuk diberlakukan dan diterapkan kepada siswa.

Ya, itu mungkin itu sekilas mengenai aturan-aturan yang diberlakukan di berbagai lembaga pendidikan di Indonesia. Jika kita pikir, aturan-aturan yang diberlakukan tadi yang sudah dibuat dengan bersusah payah seharusnya membuat kondisi pembelajaran menjadi lebih tertib dan kondusif, bukan ? Lalu, bagaimana tanggapan orang-orang yang mengatakan peraturan yang diberlakukan terlalu berlebihan, menghambat kreatifitas, atau bahkan mengekang kehidupan para siswa ? Di sini, selain bertindak sebagai penulis, saya juga bertindak menjdai sampel dan saksi dalam hal ini. Karena kebetulan sekolah saya sekolah berasrama yang menerapkan sistem agak berbeda dari sekolah lain, sehingga bisa ditinjau dan diteliti secara lebih lanjut untuk dipelajari dan diambil pengalamannya. Kata pepatah “Jika ada sagu di depan mata, untuk apa kita mencari nasi di seberang kota”. Bersumber pepatah tersebut, saya berusaha untuk mengambil pelajaran baik positif maupun negatif dari sistem pendidikan sekolah saya, dan sekolah-sekolah di Indonesia pada umumnya.


Aturan sekolah kian mempersempit kreatifitas dan wawasan, atau sebaliknya ?

Mungkin, pertanyaan di atas masih menjadi polemik tak terhentikan di berbagai kalangan. Ada yang bilang iya, ada yang bilang tidak. Akan tetapi, menurut pengalaman saya selama ini, peaturan sekolah, yang terutama berkaitan dengan masalah disiplin, sangat membantu para siswa dalam meraih tujuannya. Disamping itu, pola kehidupan yang taat aturan dan dispilin juga mendorong tumbuh kembangnya kreatifitas. Tak percaya ? Cobalah kita implemetasikan kepada kehidupan sehari-hari. Jika kita mampu me-manage waktu secara baik dan efisien, tentu waktu kita untuk berkarya pun semakin bertambah. Kita pun tidak disibukkan dengan kegiatan yang semestinya tidak kita urusi, seperti sakit maag karena kita terlambat makan, dimarahi guru karena lupa mengerjakan PR, dan kegiatan – kegiatan lain yang diakibatkan tidak bisanya kita mengatur waktu hidup kita sendiri..

Disiplin pun menjadi perakaran segala peraturan di Indonesia. Saya yakin tak hanya lembaga penddikan saja yang menitikberatkan pada kedisiplinan. Akan tetapi, hampir seluruh lembaga pemerintah maupun swasta sudah berorientasi kepada unsur-unsur kedisiplinan, karena memang, disiplin merupakan kunci sukses dalam upaya perwujudan suatu tatanan / sistem yang teratur dan terstruktur.


Itu semua terjadi kalau sekolah kita PAKAI ATURAN, bagaimana seandanya sekolah kita TANPA ATURAN ?

Tanpa aturan, berarti tidak ada tata tertib, ke sekolah tidak pakai seragam, terserah mau masuk kelas atau tidak masuk (karena tidak pernah ada absesi). Dengan guru pun kita tak perlu segan dan hormat (karena tak ada aturan yang mengharuskan siswa untuk seperti itu). Ke sekolah boleh terlambat, dan mungkin, tak bisa dibayangkan lagi apa dampaknya jika sekolah kita benar-benar TANPA ATURAN.

Baiklah, mungkin ini terlalu abstrak jika kita bayangkan seandainya sekolah kita tanpa aturan. Tapi yang pasti, mungkin ada dua dampak yang bakal terjadi, yaitu dampak positif dan dampak negatif. Sekarang yang jadi masalah, dari kedua sisi tersebut, lebih banyak dampak positifnya, atau dampak negatifnya ?

Pertama jika kita tinjau dari segi positifnya. Baik, mungkin jika sekolah kita dijadikan serba liberal, mungkin kasus penganiyayaan yang bersifat hirarki / senioritas, seperti halnya yang terajdi di IPDN, Akpol, SMA-SMA Negeri dan Akademi-akademi lainnya tidak akan terjadi. Ya, karena di sekolah kita tidak ada aturan. Tidak ada hirarki. Tidak ada yang mengharuskan kita untuk beretika. Kita lebih bebas untuk bergerak. Tidak ada yang harus kita hormati. Tidak ada yang namanya hukuman, tindakan disiplin, dan sejenisnya, sehingga kita tidak perlu takut jika akan berangkat ke sekolah terlambat, atau bahkan tidak berangkat sama sekali / membolos. Tidak ada yang mewajibkan kita bersekolah secara teratur. Kita pun dapat berbuat seenaknya di sekolah, karena kita sudah ‘membeli’ sekolah dengan uang BOP (Biaya Operasional Pendidikan) yang kita bayar setiap bulannya.

Kita pun bebas untuk mengenakan seragam. Bahkan menggunakan baju bebas seperti halnya jika kita sedang pergi ke mall ataupun bermain. Dan mungkin parahnya lagi, untuk kita yang doyan merokok atau nge-drugs, mungkin ini merupakan hal yang sangat nikmat dan asyik dibanding dengan di rumah. Karena di sekolah kita bisa leluasa mendapat banyak teman utuk berbagi masalah-masalah dan hal-hal yang berbau seperti itu. Sekolah pun tak membatasi tentang hubungan antar siswa. Siswa putra dan putri seolah sama, tidak ada yang perlu dibedakan. Kita boleh pacaran seenaknya. Dan mungkin, terkadang mengenai masalah-masalah pribadi pun akan dicampuradukkan antara kaum adam dan hawa. Bagi yang suka kumpul-kumpul kebo, mungkin ini merupakan surga dunia bagi mereka.

Kita pun bebas untuk menentukan pelajaran yang kita sukai. Jika kita senang dengan pelajaran seni musik, ya kita ikuti saja pelajaran itu tanpa memperhatikan pelajaran yang lain. Jika ada siswa yang rajin beribadah, tak ada larangan baginya untuk melaksanaakan Sholat Dhuha di sela-sela jam perajaran. Kita pun bebas berorganisasi tanpa aturan yang pasti. Mungkin organisasi-organisasi siswa di sekolah seperti OSIS akan berkembang menjadi organisasi-organisasi yang lebih banyak lagi macamnya. Dengan kata lain, mungkin kita bisa mem-visualisasi-kannya sepeti halnya sekolah-sekolah di Amerika sana, yang membebaskan murid-muridnya untuk mengekspresikan apa yang ada di dalam hatinya.

Tak ada aturan = Freedom Forever . . .

Ya, itu tadi dari segi positifnya. Tapi bagamana dengan dari segi negatifnya ? Apakah lebih sedikit dari segi positifnya ? Atau justru semakin banyak ?

Yang kedua, dari segi negatifnya. Tentunya kita tidak akan mengenal tata krama dan etika bergaul. Tidak ada lagi rasa hormat kita kepada orang yang lebih tua. Tidak ada lagi etika bergaul dengan teman. Dan mungkin kecerdasan emosi kita akan berkurang secara perlahan. Kemudian hati nurani kita akan beku karena kita secara tak sadar terdidik untuk bersikap egois dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar.

Jika ada orang luar yang melihat sekolah kita, mungkin mereka akan aneh melihatnya karena sangat terlihat keberagaman yang tidak enak dilihat. Apa artinya ? Semua yang dikenakan para siswa serba beragam. Pakaian, model rambut, tingkah laku, dan sebagainya. Tidak ada estetika keseragaman / kesamaan. Terlihat jelas perbedaan antara penampilan si kaya dan si miskin. Mungkin, perbedaan cara penampilan akan mempengaruhi pola pergaulan murid-muridnya.

Upacara bendera pun tak akan ada. Lalu, melalui apa sekolah mendidik murid-muridnya mencintai bangsanya sendiri ? Lewat apa sekolah dapat megajarkan Nasionalisme kepada para siswanya ? Padahal generasi muda adalah generasi penerus bangsa, generasi yang nantinya ‘kan meneruskan estafet kepemimpinan bangsa ini. Jika mulai dari jenjang sekolah saja mereka tidak diajarkan nasionalisme, Lalu siapa yang nantinya akan memimpin bangsa ini kelak ? Maukah kta jika 30 tahun mendatang kita dipimpin dengan orang yang bejat moral dan akhlak-nya ?

Bebas, berarti bebas melakukan apa saja. Tak ada larangan untuk kita berpacaran atau bahkan ‘berhubungan’ dengan lawan jenis diluar batas-batas kewajaran. Mungkin sekolah bisa dijadikan ajang berpacaran, atau parahnya lagi ajang ‘tuk berbuat maksiat. Tak ada peraturan sekolah yang mengharamkan hal itu. Rokok, narkoba, miras, mungkin akan mejadi hal yang memasyarakat dan lumrah berada di dalam sekolah. Mau ditaruh di mana moral anak bangsa ini jika itu terus dibudidayakan tanpa adanya tindakan / sangsi tegas dari sekolah ?

Organisasi sekolah yang terkenal dengan wibawanya, tempat para siswa belajar berorganisasi, nantiya akan beruah menjadi geng sekolah yang urakan tanapa aturan. Tidak ada ketua OSIS ynag disegani seperti dulu. Yang ada adalah sang bos gangster yang ditakuti oleh para murid-murid di sekolah tersebut karena dandannya yang sangar.

Mungkin, pihak sekolah akan kalang kabut dalam mengawasi para muridnya di sekolah. Tidak ada absensi, tidak ada kata terlambat bagi siswa untuk datang ke sekolah. Sehingga pihak sekolah tidak dapat mengecek bagaimana keadaan para siswanya. Sekolah tidak dapat mempertanggung jawabkan anak-anak yang telah dititipkan para orang tua kepada sekolah.

Itu semua mungkin akan terjadi hanya jika sekolah yang tidak berasrama yang tidak memiliki aturan. Jika sekolah berasrama (seperti sekolah saya, misalnya) tidak memiliki aturan yang jelas dan tegas, pastilah efek yang ditimbulkan akan lebih parah dan memprihatinkan dari yang kira duga.

Dari semua paparan di atas, kita dapat menyimpulkan sendiri antara hal-hal yang positif dan hal-hal yang negatif. Kita adalah manusia yang dibekali akal pikiran dan hati nurani. Pastilah kita dapat membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk.
Kesimpulannya . . . .

Ya, dari semua yang dari tadi kita bahas bersama, bahwa memang sekolah tanpa aturan itu adalah hal yang BODOH dan tidak berpendidikan. Tidak mendidik. Tidak beradab karena kita adalah amkhluk Tuhan yang paling sempurna. Sedangkan pada awalnya maksud diadakannya sekolah adalah sebagai salah satu wahana pengajaran dan pendidikan, sehingga sekolah seharusnya mengajarkan nilai-nilai moral juga kepada anak yang dididiknya. Bukannya memberikan kebebasan semata yang tak memikirkan dampak yang ditimbulkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar