Minggu, 31 Mei 2009

Mobile hacking

Dear All,

Ada informasi penting mengenai penyadapan handphone dan SMS. Hati2 ya...

Just sharing dari seminar yg saya ikuti baru-baru ini, yaitu "Bellua
Cyber Security Asia 2008" tgl 18-19 November di mana seminar ini
menghadirkan para expert di bidang security dan juga para hacker dalam dan luar
negri.

Salah satu topik yg paling menarik saya adalah yg dibawakan oleh sdr.
Raditya Iryandi, seorang anak muda yg
mempunyai keahlian dlm bidang hacking sattelite Pada kesempatan tsb sdr. Raditya Iryandi mendemokan betapa mudahnya
melakukan mobile hacking (dalam waktu kurang dari 5 menit). Akibat yg
ditimbulkan sungguh "mencengangkan", antara lain:

1. Penyadapan terhadap pembicaraan telp dan SMS. Penyadapan terhadap
pembicaraan telp tersadap dan SMS baik incoming maupun outgoing.

2. Call Spoofing yaitu pelaku melakukan telp yg seolah-olah telepon berasal dari HP korban.

3. HP korban menjadi "alat pendengar jarak jauh", di mana dengan
feature "conference" yg disediakan oleh operator, pelaku bisa mendengarkan/menyadap pembicaraan korban dengan hanya melakukan call ke nomor korban.

4. Pembobolan uang lewat SMS banking.
Melihat apa yg didemokan tsb, tidak mengherankan apa yg dilakukan KPK
baru-baru ini, ada kemungkinan KPK menggunakan tools yg sama.

Saat ini tools tsb bisa menginfeksi system Symbian dan Microsoft mobile.
System Blackberry menurut Raditya ada kemungkinan bisa diinfeksikan juga
karena mempunyai karakterisktik yg sama dengan Symbian. Satu hal yg
mengerikan adalah saat korban melakukan penyadapan tidak terlihat aktivitas sama
sekali pada handphone. HP tampak dalam keadaan standby saja.


Beberapa hal yg "sedikit" melegakan kita adalah:

1. Mobile hacking tools tsb "BELUM" tersebar luas di internet, hanya kalangan tertentu saja.

2. Walaupun proses hacking hanya membutuhkan waktu 5 menit tetapi injeksi ke
system HP "masih" harus lewat kontak fisik, yaitu pelaku harus mengirimkan program tsb via bluetooth/MMS atau memory card dan
melakukan intallasi secara manual di HP korban.

3. Adanya "jejak" yg ditinggalkan pelaku terhadap aktivitas yg
dilakukan terhadap HP korban yaitu berupa log pada outgoing call dan SMS out.

Berikut ini adalah tips sederhana agar kita terhindar dari korban mobile
hacking ini:

1. Jangan menyalakan bluetooth di tempat umum.

2. Hati-hati terhadap HP bekas yg tidak jelas asal-usulnya dan juga jangan

sembarangan meminjamkan HP kita kepada orang yg tidak jelas. Hal yg sama untuk service HP.

3. Secara rutin mengecek call log dan SMS out. Sebaiknya menggunakan kartu
pascabayar di mana kita bisa mengecek call/SMS log yg dikirimkan bersama billing bulanan.

4. Jgn menggunakan fasilitas SMS banking

sekilas tentang facebook.

acebook merupakan salah satu social network yang ada di internet. dengan facebook kita bisa tau kegiatan teman kita dengan dia mengupdate status nya dan bisa berkomentar dengan apa yang mereka kerjakan. selain itu facebook pun menyediakan taging foto yang bisa mengetahui siapa aja yang ada di dalam foto kemudian setelah di taging. foto yang di upload temen kita bisa masuk ke album foto kita. belum lagi aplikasi aplikasi tambahan seperti game , quiz, etc yang bisa kita gunkanan untuk mengisi waktu luang setelah itu fitur group dan calender serta fasilitas invite dalam mengadakan suatu acara. pernah ada salah satu temen gw yang mau nikahan dia publish di facebook. luar biasa nih aplikasi.
snapshot5

singkat cerita tentang facebook,
facebook didirikan oleh alumni mahasiswa harvard universiity uang bernama Mark Zuckerberg, asal muasal facebook ini sebenarnya merupakan aplikasi yang dibuat mark yang bertujuan untuk komunikasi antara mahasiswa harvard,
dan ternyata Dalam waktu dua minggu setelah facebook diluncurkan, hampir separuh dari semua mahasiswa Harvard telah mendaftar dan memiliki account di Facebook. dan Tak hanya itu, beberapa kampus lain seperti yale, stanford dan kampus terdekat pun meminta untuk dimasukkan dalam jaringan Facebook.
Zuckerberg pun akhirnya meminta bantuan dua teman di kampus harvard university yaitu Dustin Moskovitz dan Chris Hughes untuk membantu mengembangkan Facebook dan memenuhi permintaan kampus-kampus lain untuk bergabung dalam jaringannya. dan dalam waktu 4 bulan semenjak diluncurkan, Facebook telah memiliki 30 kampus dalam jaringannya.

Dengan kesuksesannya tersebut, Zuckerberg beserta dua orang temannya memutuskan untuk pindah ke Palo Alto dan menyewa apartemen di sana.

Setelah beberapa minggu di Palo Alto. Zuckerberg berhasil bertemu dengan Sean Parker (cofounder Napster), dan dari hasil pertemuan tersebut Parker pun setuju pindah ke apartemen Facebook untuk bekerja sama mengembangkan Facebook. Tidak lama setelah itu, Parker berhasil mendapatkan Peter Thiel (cofounder Paypal) sebagai investor pertamanya. Thiel menginvestasikan 500 ribu US Dollar untuk pengembangan Facebook.

semakin lama pengguna facebook makin melonjak, sehingga pada pertengahan 2004 Friendster mengajukan tawaran kepada Zuckerberg untuk membeli Facebook seharga 10 juta US Dollar, dan Zuckerberg pun menolaknya. tetapi Zuckerberg sama sekali tidak menyesal menolak tawaran tersebut sebab tak lama setelah itu Facebook menerima sokongan dana lagi sebesar 12.7 juta US Dollar dari Accel Partners. Dan semenjak itu sokongan dana dari berbagai investor terus mengalir untuk pengembangan Facebook.

Pada September 2005 Facebook tidak lagi membatasi jaringannya hanya untuk mahasiswa., Facebook pun membuka jaringannya untuk para siswa SMU. Beberapa waktu kemudian Facebook juga membuka jaringannya untuk para pekerja kantoran. Dan akhirnya pada September 2006 Facebook membuka pendaftaran untuk siapa saja yang memiliki alamat e-mail.

Selain menolak tawaran dari Friendster seharga 10 juta US Dollar, Zuckerberg juga pernah menolak tawaran dari Viacom yang ingin membeli Facebook seharga 750 juta US Dollar, dan tawaran dari Yahoo yang ingin membeli Facebook seharga 1 milyar US Dollar.

Tidak ada situs jejaring sosial lain yang mampu menandingi daya tarik Facebook terhadap user. Pada tahun 2007, terdapat penambahan 200 ribu account baru perharinya Lebih dari 25 juta user aktif menggunakan Facebook setiap harinya. Rata-rata user menghabiskan waktu sekitar 19 menit perhari untuk melakukan berbagai aktifitas di Facebook

Sex education

Overview

Sex education may also be described as "sexuality education," which means that it encompasses education about all aspects of sexuality, including information about family planning, reproduction (fertilization, conception and development of the embryo and fetus, through to childbirth), plus information about all aspects of one's sexuality including: body image, sexual orientation, sexual pleasure, values, decision making, communication, dating, relationships, sexually transmitted infections (STIs) and how to avoid them, and birth control methods.

Sex education may be taught informally, such as when someone receives information from a conversation with a parent, friend, religious leader, or through the media. It may also be delivered through sex self-help authors, magazine advice columnists, sex columnists, or through sex education web sites. Formal sex education occurs when schools or health care providers offer sex education.

Sometimes formal sex education is taught as a full course as part of the curriculum in junior high school or high school. Other times it is only one unit within a more broad biology class, health class, home economics class, or physical education class. Some schools offer no sex education, since it remains a controversial issue in several countries, particularly the United States (especially with regard to the age at which children should start receiving such education, the amount of detail that is revealed, and topics dealing with human sexual behavior, eg. safe sex practices, masturbation, premarital sex, and sexual ethics).

In 1936, Wilhelm Reich commented that sex education of his time was a work of deception, focusing on biology while concealing excitement-arousal, which is what a pubescent individual is mostly interested in. Reich added that this emphasis obscures what he believed to be a basic psychological principle: that all worries and difficulties originate from unsatisfied sexual impulses.[1]

When sex education is contentiously debated, the chief controversial points are whether covering child sexuality is valuable or detrimental; the use of birth control such as condoms and hormonal contraception; and the impact of such use on pregnancy outside marriage, teenage pregnancy, and the transmission of STIs. Increasing support for abstinence-only sex education by conservative groups has been one of the primary causes of this controversy. Countries with conservative attitudes towards sex education (including the UK and the U.S.) have a higher incidence of STIs and teenage pregnancy.[2]

The existence of AIDS has given a new sense of urgency to the topic of sex education. In many African nations, where AIDS is at epidemic levels (see HIV/AIDS in Africa), sex education is seen by most scientists as a vital public health strategy. Some international organizations such as Planned Parenthood consider that broad sex education programs have global benefits, such as controlling the risk of overpopulation and the advancement of women's rights (see also reproductive rights).

According to SIECUS, the Sexuality Information and Education Council of the United States, 93% of adults they surveyed support sexuality education in high school and 84% support it in junior high school.[3] In fact, 88% of parents of junior high school students and 80% of parents of high school students believe that sex education in school makes it easier for them to talk to their adolescents about sex.[4] Also, 92% of adolescents report that they want both to talk to their parents about sex and to have comprehensive in-school sex education.[5]

[edit] Sex education worldwide

[edit] Africa

AIDS posters in Côte d'Ivoire

Sex education in Africa has focused on stemming the growing AIDS epidemic. Most governments in the region have established AIDS education programs in partnership with the World Health Organization and international NGOs. These programs were undercut significantly by the Global Gag Order, an initiative put in place by President Reagan, suspended by President Clinton, and re-instated by President Bush. The gag order refused government funding for any efforts that promote condom and contraception use in addition to abstinence and monogamy.[6] The Global Gag Order was again suspended as one of the first official acts by United States President Barack Obama.[7] The incidences of new HIV transmissions in Uganda decreased dramatically when Clinton supported a comprehensive sex education approach (including information about contraception and abortion).[8] According to Ugandan AIDS activists, the Global Gag Order undermined community efforts to reduce HIV prevalence and HIV transmission.[6]

Egypt teaches knowledge about male and female reproductive systems, sexual organs, contraception and STDs in public schools at the second and third years of the middle-preparatory phase (when students are aged 12–14). A coordinated program between UNDP, UNICEF, and the ministries of health and education promotes sexual education at a larger scale in rural areas and spreads awareness of the dangers of female genital cutting.

[edit] Asia

The state of sex education programs in Asia is at various stages of development. Indonesia, Mongolia, South Korea have a systematic policy framework for teaching about sex within schools. Malaysia, the Philippines and Thailand have assessed adolescent reproductive health needs with a view to developing adolescent-specific training, messages and materials. India has programs aimed at children aged nine to sixteen years. In India, there is a huge debate on the curriculum of sex education and when should it be increased. Attempts by state governments to introduce sex education as a compulsory part of the curriculum have often been met with harsh criticism by political parties, who claim that sex education "is against Indian culture" and would mislead children.[5] (Bangladesh, Myanmar, Nepal and Pakistan have no coordinated sex education programs.[9])

In Japan, sex education is mandatory from age 10 or 11, mainly covering biological topics such as menstruation and ejaculation.[10]

In China and Sri Lanka, sex education traditionally consists in reading the reproduction section of biology textbooks. In Sri Lanka they teach the children when they are 17-18 years. However, in 2000 a new five-year project was introduced by the China Family Planning Association to "promote reproductive health education among Chinese teenagers and unmarried youth" in twelve urban districts and three counties. This included discussion about sex within human relationships as well as pregnancy and HIV prevention.[11]

The International Planned Parenthood Federation and the BBC World Service ran a 12-part series known as Sexwise, which discussed sex education, family life education, contraception and parenting. It was first launched in South Asia and then extended worldwide.[12]

[edit] Europe

[edit] Finland

In Finland, sexual education is usually incorporated into various obligatory courses, mainly as part of biology lessons (in lower grades) and later in a course related to general health issues. The Population and Family Welfare Federation provides all 15-year-olds an introductory sexual package that includes an information brochure, a condom and a cartoon love story.

[edit] France

In France, sex education has been part of school curricula since 1973. Schools are expected to provide 30 to 40 hours of sex education, and pass out condoms, to students in grades eight and nine. In January 2000, the French government launched an information campaign on contraception with TV and radio spots and the distribution of five million leaflets on contraception to high school students.[13]

[edit] Germany

In Germany, sex education has been part of school curricula since 1970. Since 1992 sex education is by law a governmental duty.[14]

It normally covers all subjects concerning the growing-up process, body changes during puberty, emotions, the biological process of reproduction, sexual activity, partnership, homosexuality, unwanted pregnancies and the complications of abortion, the dangers of sexual violence, child abuse, and sex-transmitted diseases, but sometimes also things like sex positions. Most schools offer courses on the correct usage of contraception.[15]

A sex survey by the World Health Organization concerning the habits of European teenagers in 2006 revealed that German teenagers care about contraception. The birth rate among 15- to 19-year-olds was very low.[16]

[edit] Poland

In the Western point of view, sex education in Poland has never actually developed. At the time of the People's Republic of Poland, since 1973, it was one of the school subject, however, it was relatively poor and did not achieved any actual success. After 1989, it practically vanished from the school life - it is currently an exclusive subject (called wychowanie do życia w rodzinie/family life education rather than edukacja seksualna/sex education) in several schools and even their parents much give assents to the headmasters so that their children can attend. It is much due to the strong objection against sex education of the Catholic Church being the most influential institution in Poland.[17]

It has, however, been changed and since September 2009 sex education will become an obligatore subject in the number of 14 per school year - unless parents do not want their children to be taught this. They are going to have to write special disagreements.[18]

[edit] The Netherlands

Subsidized by the Dutch government, the “Lang leve de liefde” (“Long Live Love”) package, developed in the late 1980s, aims to give teenagers the skills to make their own decisions regarding health and sexuality. Professor Brett van den Andrews, a medical research scientist who graduated from ISHSS (International School for Humanities and Social Sciences),[19], has suggested that exposing children aged 4-7 to sex education will greatly reduce the risk of future pregnancies and health issues. Of course his theories have been the subject of much scrutiny under the NIGS (Netherlands Institute of Geooracular Sciences). Nonetheless, he is widely appreciated in the medical society and has been featured in many medical journals.[20] Nearly all secondary schools provide sex education as part of biology classes and over half of primary schools discuss sexuality and contraception. The curriculum focuses on biological aspects of reproduction as well as on values, attitudes, communication and negotiation skills. The media has encouraged open dialogue and the health-care system guarantees confidentiality and a non-judgmental approach. The Netherlands has one of the lowest teenage pregnancy rates in the world, and the Dutch approach is often seen as a model for other countries.[21]

[edit] Sweden

In Sweden, sex education has been a mandatory part of school education since 1956. The subject is usually started between ages 7 and 10, and continues up through the grades, incorporated into different subjects such as biology and history. [10]

[edit] Switzerland

In Switzerland, the content and amount of sex education is decided at the cantonal level. In Geneva, courses have been given at the secondary level since the 1950s. Interventions in primary schools were started more recently, with the objective of making children conscious of what is and isn't allowed, and able to say "No". In secondary schools (age 13-14), condoms are shown to all pupils, and are demonstrated by unfolding over the teacher's fingers. For this, classes are usually separated into girl-only and boy-only subgroups. Condoms are not distributed, however, except among older adolescents engaged in state-run non-compulsory education (age 16-17).[citation needed]

[edit] United Kingdom

In England and Wales, sex education is not compulsory in schools as parents can refuse to let their children take part in the lessons. The curriculum focuses on the reproductive system, fetal development, and the physical and emotional changes of adolescence, while information about contraception and safe sex is discretionary[22] and discussion about relationships is often neglected. Britain has one of the highest teenage pregnancy rates in Europe and sex education is a heated issue in government and media reports. In a 2000 study by the University of Brighton, many 14 to 15 year olds reported disappointment with the content of sex education lessons and felt that lack of confidentiality prevents teenagers from asking teachers about contraception.[13] In a 2008 study conducted by YouGov for Channel 4 it was revealed that almost three in ten teenagers say they need more sex and relationships education.[23]

In Scotland, the main sex education program is Healthy Respect, which focuses not only on the biological aspects of reproduction but also on relationships and emotions. Education about contraception and sexually transmitted diseases are included in the program as a way of encouraging good sexual health. In response to a refusal by Catholic schools to commit to the program, however, a separate sex education program has been developed for use in those schools. Funded by the Scottish Government, the program Called to Love focuses on encouraging children to delay sex until marriage, and does not cover contraception, and as such is a form of abstinence-only sex education.[24]

[edit] Cuba

Dr.Antonio Archuleta, born in Tijuana, Mexico is a graduate of CPoly, also known as Cuban Polytechnic University. After receiving his bachelor's degree in Cuba, he traveled to the United States where he received his doctorate in Sexual Education. Since his graduation in 1995, Dr. Archuleta has been conducting research in Havana. More recently, his research findings have been published in such medical journals as the New England Medical Journal and the Journal of the American Medical Association. His methods, very similar to those practiced and taught in United States public schools have been widely praised in the medical community.[25]

[edit] United States

Almost all U.S. students receive some form of sex education at least once between grades 7 and 12; many schools begin addressing some topics as early as grades 5 or 6.[26] However, what students learn varies widely, because curriculum decisions are so decentralized. Many states have laws governing what is taught in sex education classes or allowing parents to opt out. Some state laws leave curriculum decisions to individual school districts.[27]

For example, a 1999 study by the Guttmacher Institute found that most U.S. sex education courses in grades 7 through 12 cover puberty, HIV, STIs, abstinence, implications of teenage pregnancy, and how to resist peer pressure. Other studied topics, such as methods of birth control and infection prevention, sexual orientation, sexual abuse, and factual and ethical information about abortion, varied more widely.[28]

Two main forms of sex education are taught in American schools: comprehensive and abstinence-only. Comprehensive sex education covers abstinence as a positive choice, but also teaches about contraception and avoidance of STIs when sexually active. A 2002 study conducted by the Kaiser Family Foundation found that 58% of secondary school principals describe their sex education curriculum as comprehensive.[27]

Abstinence-only sex education tells teenagers that they should be sexually abstinent until marriage and does not provide information about contraception. In the Kaiser study, 34% of high-school principals said their school's main message was abstinence-only.

The difference between these two approaches, and their impact on teen behavior, remains a controversial subject. In the U.S., teenage birth rates had been dropping since 1991, but a 2007 report showed 3% increase from 2005 to 2006.[29] From 1991 to 2005, the percentage of teens reporting that they had ever had sex or were currently sexually active showed small declines.[30] However, the U.S. still has the highest teen birth rate and one of the highest rates of STIs among teens in the industrialized world.[31] Public opinion polls conducted over the years have found that the vast majority of Americans favor broader sex education programs over those that teach only abstinence, although abstinence educators recently published poll data with the opposite conclusion.[32][33][34]

Proponents of comprehensive sex education, which include the American Psychological Association,[35] the American Medical Association,[36] the National Association of School Psychologists,[37] the American Academy of Pediatrics,[38] the American Public Health Association,[39] the Society for Adolescent Medicine[40] and the American College Health Association,[40] argue that sexual behavior after puberty is a given, and it is therefore crucial to provide information about the risks and how they can be minimized; they also claim that denying teens such factual information leads to unwanted pregnancies and STIs.

On the other hand, proponents of abstinence-only sex education object to curricula that fail to teach their standard of moral behavior; they maintain that a morality based on sex only within the bounds of marriage is "healthy and constructive" and that value-free knowledge of the body may lead to immoral, unhealthy, and harmful practices. Within the last decade, the federal government has encouraged abstinence-only education by steering over a billion dollars to such programs.[41] Some 25 states now decline the funding so that they can continue to teach comprehensive sex education.[42][43][44][45] Funding for one of the federal government's two main abstinency-only funding programs, Title V, was extended only until December 31, 2007; Congress is debating whether to continue it past that date.[46]

The impact of the rise in abstinence-only education remains a question. To date, no published studies of abstinence-only programs have found consistent and significant program effects on delaying the onset of intercourse.[31] In 2007, a study ordered by the U.S. Congress found that middle school students who took part in abstinence-only sex education programs were just as likely to have sex (and use contraception) in their teenage years as those who did not.[47] Abstinence-only advocates claimed that the study was flawed because it was too narrow and began when abstinence-only curricula were in their infancy, and that other studies have demonstrated positive effects.[48]

It is estimated that more than half of all new HIV infections occur before the age of 25 and most are acquired through unprotected sex. According to the experts on AIDS, many of these new cases come about because young people don’t have the knowledge or skills to protect themselves. To try and resolve this problem the American Psychological Association (APA) is recommending that comprehensive sex education and HIV prevention programs become more available to the youth. The young people need this to help protect them from HIV/AIDS and other STDs they might get if they decide to have sex. Willenz, Pam.

[edit] Morality of sex education

One approach to sex education is to view it as necessary to reduce risk behaviours such as unprotected sex, and equip individuals to make informed decisions about their personal sexual activity.

Another viewpoint on sex education, historically inspired by sexologists like Wilhelm Reich and psychologists like Sigmund Freud and James W. Prescott, holds that what is at stake in sex education is control over the body and liberation from social control. Proponents of this view tend to see the political question as whether society or the individual should teach sexual mores. Sexual education may thus be seen as providing individuals with the knowledge necessary to liberate themselves from socially organized sexual oppression and to make up their own minds. In addition, sexual oppression may be viewed as socially harmful.

To another group in the sex education debate, the question is whether the state or the family should teach sexual mores. They believe that sexual mores should be left to the family, and sex-education represents state interference. They claim that some sex education curricula break down pre-existing notions of modesty and encourage acceptance of practices that those advocating this viewpoint deem immoral, such as homosexuality and premarital sex. They cite web sites such as that of the Coalition for Positive Sexuality as examples. Naturally, those that believe that homosexuality and premarital sex are a normal part of the range of human sexuality disagree with them.

Many religions teach that sexual behavior outside of marriage is immoral, so their adherents feel that this morality should be taught as part of sex education. Other religious conservatives believe that sexual knowledge is unavoidable, hence their preference for curricula based on abstinence.[49]

[edit] Lesbian, gay, bisexual, and transgender youth

Youth seeking his father's advice on love
From the Haft Awrang of Jami, in the story A Father Advises his Son About Love. His counsel is to choose that lover who desires him for his inner beauty. See Sufi outlook on male love Freer and Sackler Galleries, Smithsonian Institution, Washington, DC.

Lesbian, gay, bisexual, transgender, (LGBT) youth, and those with other sexual practices, are often ignored in sex education classes, including a frequent lack of discussion about safer sex practices for manual, oral, and anal sex, despite these activities' different risk levels for sexually transmitted diseases.

Some people do not agree with comprehensive sexual education that references or discusses such practices, believing that including this additional information might be seen as encouraging homosexual behavior. Proponents of such comprehensive curricula hold that by excluding discussion of these issues or the issues of homosexuality, bisexuality, or transgenderedness, feelings of isolation, loneliness, guilt and shame as well as depression are made much worse for students who belong or believe they may belong to one of these categories, or are unsure of their sexual identity. Supporters of including LGBT issues as an integral part of comprehensive sexuality education argue that this information is still useful and relevant and reduces the likelihood of suicide, sexually transmitted disease, 'acting out' and maladaptive behavior in these students. In the absence of such discussion, these youths are said to be de facto forced to remain in the closet, while youths are left without guidance on dealing with their own possible same-gender attractions and with their LGBT classmates.

Supporters of comprehensive sex education programs argue that abstinence-only curricula (that advocate that youth should abstain from sex until marriage) ignore and marginalize lesbian, gay, bisexual, and transgender youth, who are often unable to marry a partner due to legal restrictions. Proponents of abstinence-only education often have a more conservative view of homosexuality and bisexuality and are against them being taught as normal, acceptable orientations or placed in equal footing to heterosexual acts/relations, and so they generally do not see this as a problem. Supporters of comprehensive programs feel that this is a major problem as it could lead LGBT youth to feel even more alienated and ashamed of their sexual orientation.

[edit] Scientific study of sex education

The debate over teenage pregnancy and STDs has spurred some research into the effectiveness of different approaches to sex education. In a meta-analysis, DiCenso et al. have compared comprehensive sex education programs with abstinence-only programs.[50] Their review of several studies shows that abstinence-only programs did not reduce the likelihood of pregnancy of women who participated in the programs, but rather increased it. Four abstinence programs and one school program were associated with a pooled increase of 54% in the partners of men and 46% in women (confidence interval 95% 0.95 to 2.25 and 0.98 to 2.26 respectively). The researchers conclude:

"There is some evidence that prevention programs may need to begin much earlier than they do. In a recent systematic review of eight trials of day care for disadvantaged children under 5 years of age, long term follow up showed lower pregnancy rates among adolescents. We need to investigate the social determinants of unintended pregnancy in adolescents through large longitudinal studies beginning early in life and use the results of the multivariate analyses to guide the design of prevention interventions. We should carefully examine countries with low pregnancy rates among adolescents. For example, the Netherlands has one of the lowest rates in the world (8.1 per 1000 young women aged 15 to 19 years), and Ketting & Visser have published an analysis of associated factors.[51] In contrast, the rates are:
We should examine effective programs designed to prevent other high risk behaviors in adolescents. For example, Botvin et al. found that school based programs to prevent drug abuse during junior high school (ages 12–14 years) resulted in important and durable reductions in use of tobacco, alcohol, and cannabis if they taught a combination of social resistance skills and general life skills, were properly implemented, and included at least two years of booster sessions.
Few sexual health interventions are designed with input from adolescents. Adolescents have suggested that sex education should be more positive with less emphasis on anatomy and scare tactics; it should focus on negotiation skills in sexual relationships and communication; and details of sexual health clinics should be advertised in areas that adolescents frequent (for example, school toilets, shopping centres)."[50]

Also, a U.S. review, "Emerging Answers", by the National Campaign To Prevent Teenage Pregnancy examined 250 studies of sex education programs.[53] The conclusion of this review was that "the overwhelming weight of evidence shows that sex education that discusses contraception does not increase sexual activity"

Meresmikan Era Baru ASEAN di Hua Hin

Deklarasi utama yang akan menjadi produk dari pertemuan puncak
(KTT) ke-14 ASEAN di Hua Hin, Thailand, itu adalah semacam panduan bagi
10 negara anggota ASEAN untuk mencapai cita-citanya mewujudkan suatu
identitas tunggal ASEAN sesuai Piagam ASEAN.



Deklarasi tersebut akan mencakup tiga cetak biru Komunitas ASEAN
yaitu cetak biru politik dan keamanan, cetak biru ekonomi ASEAN, serta
cetak biru sosial dan budaya.



Dalam cetak biru politik dan keamanan ASEAN akan diatur, antara
lain, upaya mendorong demokratisasi di kawasan, perlindungan dan
promosi HAM melalui pembentukan Badan HAM ASEAN, pemberantasan korupsi
dan pengaturan tentang ekstradisi.



Dalam cetak biru ekonomi ASEAN dibahas upaya kawasan untuk mencegah dampak krisis keuangan global.



Sedangkan cetak biru sosial budaya ASEAN membahas mengenai
pelestarian lingkungan hidup, perubahan iklim, pekerja migran,
toleransi antar umat beragama serta pelestarian dan promosi warisan
budaya.



Cetak biru sosial dan budaya disepakati karena sekalipun ASEAN akan
menuju suatu masyarakat tunggal ASEAN pada 2015 dan menolak segala
bentuk proteksionisme, kawasan tersebut sepakat untuk melindungi
warisan budaya guna mencegah insiden saling klaim warisan budaya yang
melibatkan sejumlah anggotanya.



Dalam kunjungannya ke Sekretariat ASEAN, Jakarta, pekan lalu,
Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva --yang negaranya mendapat
giliran sebagai Ketua ASEAN-- mengatakan bahwa ASEAN akan membangun
kemitraan yang lebih kuat dan lebih dinamis dengan mitra di dunia untuk
memelihara perdamaian dan kesejahteraan di kawasan berpedoman pada
Piagam ASEAN.



"Kami akan terus menjadi organisasi yang melihat ke luar dengan
mempererat integrasi regional dan bekerjasama dengan mitra-mitra di
dunia," kata Abhisit.



Dalam dunia yang saling terkait dan bergantung secara global satu
sama lain, katanya, tak ada negara atau kawasan yang dapat diisolasi
dari lingkungan internasional.



Menurut dia, ASEAN tak bisa melihat ke dalam dan harus terus
bergerak maju menghadapi tantangan dan ancaman yang cenderung bersifat
lintas batas dan kait-mengait dengan bagian lain.



Dikatakannya, krisis keuangan global yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa tak ada negara di kawasan itu yang kebal.



Ia menambahkan bahwa cara terbaik ASEAN untuk terus bergerak maju
ialah terus mempercepat kiprahnya dengan fokus pada tekad mewujudkan
cita-cita sebagai masyarakat ASEAN.


Hanya melalui ASEAN yang lebih terintegrasi, katanya, "kita dapat
berkompetisi secara global dan kita dapat menjamin masa depan yang
lebih baik bagi rakyat kita."



Semangat untuk menciptakan era baru ASEAN sesungguhnya telah
dimulai sejak dua tahun lalu ketika kelompok tokoh ulung ASEAN
berkumpul guna merumuskan rekomendasi bagi penyusunan Piagam ASEAN.



Tepat padausianya yang ke-40, forum kerja sama yang menaungi 10
negara Asia Tenggara --Brunei, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos,
Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, Vietnam-- itu merasa perlu
untuk meresmikan hubungan mereka ke tahapan yang lebih "serius" secara
hukum.



Sekalipun selama 40 tahun hidup berdampingan dalam satu payung
tanpa status hukum, negara-negara ASEAN tidak pernah terlibat dalam
suatu konflik terbuka berkepanjangan namun bukan berarti kehidupan
bertetangga itu tanpa friksi ataupun perseteruan.



Mulai dari ketegangan Indonesia-Malaysia yang dipicu kasus pekerja
migran hingga perseteruan Kamboja-Thailand memperebutkan candi Budha
Preah Vihear.



Salah satu hal yang rentan memicu ketegangan adalah ketidakpatuhan
salah satu negara anggota kepada kesepakatan yang telah disetujui oleh
kawasan.


Kesepakatan-kesepakatan ASEAN yang pada umumnya hanya berbentuk
konsensus memang relatif longgar sehingga ketaatan anggota terhadap
keputusan itu acap kali semata-mata hanya didasarkan pada niat baik.



Sekalipun, friksi itu tidak menghancurkan jalinan persahabatan yang
telah terbina sedemikian lama namun para pemimpin tertinggi 10 negara
ASEAN merasa sudah saatnya "ikatan" tersebut diberi status hukum yang
kuat sehingga ada suatu payung hukum yang jelas untuk mengawal "tingkah
polah" anggota ASEAN.



Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda mengatakan bahwa piagam
ASEAN akan menjadi instrumen yang berfungsi sebagai hukum dasar atau
kerangka kerja legal, namun akan tetap fleksibel sehingga dapat
beradaptasi dengan perubahan lingkungan.



Piagam itu, lanjut dia, akan dirancang untuk menjadi dasar bagi
organisasi antarpemerintah yang kohesif, kuat, dan berbasis-aturan,
namun tidak akan membentuk sesuatu yang supranasional sebagaimana Uni
Eropa.



Pengesahan pemberlakukan Piagam ASEAN pada 15 Desember 2008 di
Sekretariat ASEAN oleh para menteri luar negeri ASEAN, berubah dari
rencana semula oleh para Kepala Negara/Pemerintahan ASEAN seiring
penundaan KTT ke-14 ASEAN akibat krisis politik dalam negeri Thailand,
juga menjadi salah satu pertanda keseriusan ASEAN menyongsong era baru.



Pilihan ASEAN untuk memegang teguh komitmen bersama mengesahkan
pemberlakukan Piagam ASEAN sesuai jadwal setidaknya membawa citra baik
untuk keseriusan kawasan tersebut.



Lagipula pesatnya perkembangan jaman dan derasnya tantangan yang
dihadapi ASEAN seiring arus globalisasi dan keperluan guna menggalang
upaya bersama guna mengatasi krisis keuangan global membuat ASEAN tidak
memiliki pilihan lain.



ASEAN tidak dapat lagi menunda perkuatan kerangka institusionalnya
dalam rangka meningkatkan kinerjanya demi pencapaian cita-cita
mewujudkan kawasan yang aman, sejahtera dan damai.



Tahun 2009 menjadi momentum penting kawasan itu untuk menguji
ketangguhan Piagam ASEAN dalam menghadapi segala tantangan jaman.

Perkembangan pendidikan Indonesia dewasa ini

Beberapa tahun silam, terjadi sebuah peristiwa yang sempat membuat geger banyak orang di Indonesia. Mungkin hampir semua lapisan masyarakat Indoensia sudah mengetahui tentang kasus penganiyayaan dari siswa (praja) senior terhadap junior di STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri). Belum genap satu tahun, Akademi Kepolisian (Akpol) juga sudah mulai menyusul STPDN dalam memperbanyak catatan hitam tindak penganiyayaan siswa di Indonesia. Beberapa SMA Negeri di Jakarta pun sepertinya sudah menjadi hal rutin bagi mereka untuk melakukan tawuran antar geng sekolah di jalanan umum. Bahkan tak hanya di ibukota, kini kota-kota kecil seperti Cilacap, Tegal, Magelang, dan lain sebagainya pun sudah mulai ikut-ikutan oleh ‘hobi’ baru masyarakat remaja metropolitan. Ibarat keledai, tidak lama setelah itu, entah mengapa STPDN yang telah megganti nama menjadi IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) dengan maskud memperbaiki citra di mata masyarakat justru mengulangi kesalahannya yang sama di tahun 2006 dengan kasus baru yang sebenarnya sudah ‘lama’, yaitu terbunuhnya salah seorang Praja (sebutan untuk siswa yang bersekolah di tempat tersebut) IPDN asal pulau Sulawesi, Cliff Muntu, yang sebenarnya tidak didasari oleh alasan yang rasional dan logis.

Banyak orang bilang, kejadian-kejadian semacam itu tidak sepantasnya terjadi untuk para anak muda Indonesia. Pernahkah kita berpikir, sebenarnya apa yang salah dengan sistem pendidikan kita? Apa sebenarnya yang menyebabkan pemuda-pemuda Indonesia menjadi bertindak sebegitu brutal dan gila-nya, sehingga mata hati mereka seolah-olah tertutup oleh dinding hawa nafsu yang selalu menyelimuti sanubari ? Apakah semua kejadian ini ada sangkut pautnya dengan sistem pendidikan yang ada di Indoensia ? Mungkinkah semua ini ada hubungannya dengan aturan-aturan yang diberlakukan di sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya ?

Memang, saat ini perkembangan pendidikan di Indoenesia sudah sampai pada tingkat yang bisa dibilang ‘memuaskan’ untuk ukuran negara berkembang. Berbagai kejuaraan dan kemenangan dalam event olimpiade sains tingkat internasional pun kini sudah menjadi hal yang biasa bagi para siswa- siswa SD, SMP, maupun SMA di Indonesia. Demikian pula dengan standar soal dan materi yang sudah bisa disamakan dan memenuhi standar internasional. Bahkan ada beberapa yang sudah mengungguli beberapa negara lainnya di dunia. Akan tetapi, mengapa berbagai tindakan – tindakan tak terdidik masih terjadi di tempat-tempat yang seharusnya membentuk anak didiknya menajdi siswa yang berkualitas, terhormat, dan terdidik ?

Sebenarnya, jika kita ingin dan mau mengkaji lebih lanjut, serentetan peristiwa pelanggaran aturan-aturan di atas sebenarnya bukan kesalahan dari pihak siswa sepenuhnya, seperti yang digembor-gemborkan banyak orang. Tetapi, kita juga tak bisa menyalahkan pihak sekolah yang telah berusaha menyajikan sistem pendidikan yang sebaik-baiknya, walaupun masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan kecil yang nantinya mungkin juga akan menjadi besar, karena sekolah telah berusaha untuk memberi yang terbaik kepada bangsa ini. Mungkin, kita lebih bisa dan lebih adil jika kita mengulas lebih banyak tentang sistem pendidikan yang ada saat ini, sampai-sampai kejadaian-kejadian seperti itu bisa terjadi. Ada apa sebenarnya dengan sistem pendidikan di Indonesia ?


Salahkah Sistem Pendidikan Indoensia ?

Tersebut di atas bahwa kejadian-kejadian semacam itu erat kaitannya dengan sistem yang diberlakukan di sekolah tersebut. Akan tetapi, kini timbul sebuah pertanyaan, apakah sistem yang digunakan selama ini mengandung banyak kesalahan-kesalahan sehingga kejadian-kejadian seperti itu terjadi ? Perlukah sistem Indonesia saat ini di-reset ? Atau bahkan perlukah tata cara pengajaran dan pendidikan di Indoensia di-format ulang ? Perlukah diadakan semacam tindakan ‘cut generation’, sehingga kejadian – kejadian penganiyayan bersifat senioritas semacam itu tak akan terjadi lagi ?

Yang perlu ditekankan di sini adalah tentang aturan-aturan main yang diberlakukan dalam sistem pendidikan Indonesia selama ini. Aturan-aturan yang berlaku di suatu sekolah atau lembaga pendidikan lainnya pada umumnya biasa diesebut dengan tata tertib. Kebetulan saya bersekolah di sekolah berasrama (borading school) yang bisa dibilang sangat kental dengan unsur peratutan yang ketat. Di sekolah saya, aturan tersebut dimasukkan dan dikelompokkan ke dalam sebentuk peraturan yang dibukukan, yaitu PUDD (Peraturan Urusan Dinas Dalam) dan Perdupsis (Peraturan Kehidupan Siswa). Dan dalam kedua buku itu diterangkan sangat jelas tentang aturan-aturan yang dikemukakan untuk diberlakukan dan diterapkan kepada siswa.

Ya, itu mungkin itu sekilas mengenai aturan-aturan yang diberlakukan di berbagai lembaga pendidikan di Indonesia. Jika kita pikir, aturan-aturan yang diberlakukan tadi yang sudah dibuat dengan bersusah payah seharusnya membuat kondisi pembelajaran menjadi lebih tertib dan kondusif, bukan ? Lalu, bagaimana tanggapan orang-orang yang mengatakan peraturan yang diberlakukan terlalu berlebihan, menghambat kreatifitas, atau bahkan mengekang kehidupan para siswa ? Di sini, selain bertindak sebagai penulis, saya juga bertindak menjdai sampel dan saksi dalam hal ini. Karena kebetulan sekolah saya sekolah berasrama yang menerapkan sistem agak berbeda dari sekolah lain, sehingga bisa ditinjau dan diteliti secara lebih lanjut untuk dipelajari dan diambil pengalamannya. Kata pepatah “Jika ada sagu di depan mata, untuk apa kita mencari nasi di seberang kota”. Bersumber pepatah tersebut, saya berusaha untuk mengambil pelajaran baik positif maupun negatif dari sistem pendidikan sekolah saya, dan sekolah-sekolah di Indonesia pada umumnya.


Aturan sekolah kian mempersempit kreatifitas dan wawasan, atau sebaliknya ?

Mungkin, pertanyaan di atas masih menjadi polemik tak terhentikan di berbagai kalangan. Ada yang bilang iya, ada yang bilang tidak. Akan tetapi, menurut pengalaman saya selama ini, peaturan sekolah, yang terutama berkaitan dengan masalah disiplin, sangat membantu para siswa dalam meraih tujuannya. Disamping itu, pola kehidupan yang taat aturan dan dispilin juga mendorong tumbuh kembangnya kreatifitas. Tak percaya ? Cobalah kita implemetasikan kepada kehidupan sehari-hari. Jika kita mampu me-manage waktu secara baik dan efisien, tentu waktu kita untuk berkarya pun semakin bertambah. Kita pun tidak disibukkan dengan kegiatan yang semestinya tidak kita urusi, seperti sakit maag karena kita terlambat makan, dimarahi guru karena lupa mengerjakan PR, dan kegiatan – kegiatan lain yang diakibatkan tidak bisanya kita mengatur waktu hidup kita sendiri..

Disiplin pun menjadi perakaran segala peraturan di Indonesia. Saya yakin tak hanya lembaga penddikan saja yang menitikberatkan pada kedisiplinan. Akan tetapi, hampir seluruh lembaga pemerintah maupun swasta sudah berorientasi kepada unsur-unsur kedisiplinan, karena memang, disiplin merupakan kunci sukses dalam upaya perwujudan suatu tatanan / sistem yang teratur dan terstruktur.


Itu semua terjadi kalau sekolah kita PAKAI ATURAN, bagaimana seandanya sekolah kita TANPA ATURAN ?

Tanpa aturan, berarti tidak ada tata tertib, ke sekolah tidak pakai seragam, terserah mau masuk kelas atau tidak masuk (karena tidak pernah ada absesi). Dengan guru pun kita tak perlu segan dan hormat (karena tak ada aturan yang mengharuskan siswa untuk seperti itu). Ke sekolah boleh terlambat, dan mungkin, tak bisa dibayangkan lagi apa dampaknya jika sekolah kita benar-benar TANPA ATURAN.

Baiklah, mungkin ini terlalu abstrak jika kita bayangkan seandainya sekolah kita tanpa aturan. Tapi yang pasti, mungkin ada dua dampak yang bakal terjadi, yaitu dampak positif dan dampak negatif. Sekarang yang jadi masalah, dari kedua sisi tersebut, lebih banyak dampak positifnya, atau dampak negatifnya ?

Pertama jika kita tinjau dari segi positifnya. Baik, mungkin jika sekolah kita dijadikan serba liberal, mungkin kasus penganiyayaan yang bersifat hirarki / senioritas, seperti halnya yang terajdi di IPDN, Akpol, SMA-SMA Negeri dan Akademi-akademi lainnya tidak akan terjadi. Ya, karena di sekolah kita tidak ada aturan. Tidak ada hirarki. Tidak ada yang mengharuskan kita untuk beretika. Kita lebih bebas untuk bergerak. Tidak ada yang harus kita hormati. Tidak ada yang namanya hukuman, tindakan disiplin, dan sejenisnya, sehingga kita tidak perlu takut jika akan berangkat ke sekolah terlambat, atau bahkan tidak berangkat sama sekali / membolos. Tidak ada yang mewajibkan kita bersekolah secara teratur. Kita pun dapat berbuat seenaknya di sekolah, karena kita sudah ‘membeli’ sekolah dengan uang BOP (Biaya Operasional Pendidikan) yang kita bayar setiap bulannya.

Kita pun bebas untuk mengenakan seragam. Bahkan menggunakan baju bebas seperti halnya jika kita sedang pergi ke mall ataupun bermain. Dan mungkin parahnya lagi, untuk kita yang doyan merokok atau nge-drugs, mungkin ini merupakan hal yang sangat nikmat dan asyik dibanding dengan di rumah. Karena di sekolah kita bisa leluasa mendapat banyak teman utuk berbagi masalah-masalah dan hal-hal yang berbau seperti itu. Sekolah pun tak membatasi tentang hubungan antar siswa. Siswa putra dan putri seolah sama, tidak ada yang perlu dibedakan. Kita boleh pacaran seenaknya. Dan mungkin, terkadang mengenai masalah-masalah pribadi pun akan dicampuradukkan antara kaum adam dan hawa. Bagi yang suka kumpul-kumpul kebo, mungkin ini merupakan surga dunia bagi mereka.

Kita pun bebas untuk menentukan pelajaran yang kita sukai. Jika kita senang dengan pelajaran seni musik, ya kita ikuti saja pelajaran itu tanpa memperhatikan pelajaran yang lain. Jika ada siswa yang rajin beribadah, tak ada larangan baginya untuk melaksanaakan Sholat Dhuha di sela-sela jam perajaran. Kita pun bebas berorganisasi tanpa aturan yang pasti. Mungkin organisasi-organisasi siswa di sekolah seperti OSIS akan berkembang menjadi organisasi-organisasi yang lebih banyak lagi macamnya. Dengan kata lain, mungkin kita bisa mem-visualisasi-kannya sepeti halnya sekolah-sekolah di Amerika sana, yang membebaskan murid-muridnya untuk mengekspresikan apa yang ada di dalam hatinya.

Tak ada aturan = Freedom Forever . . .

Ya, itu tadi dari segi positifnya. Tapi bagamana dengan dari segi negatifnya ? Apakah lebih sedikit dari segi positifnya ? Atau justru semakin banyak ?

Yang kedua, dari segi negatifnya. Tentunya kita tidak akan mengenal tata krama dan etika bergaul. Tidak ada lagi rasa hormat kita kepada orang yang lebih tua. Tidak ada lagi etika bergaul dengan teman. Dan mungkin kecerdasan emosi kita akan berkurang secara perlahan. Kemudian hati nurani kita akan beku karena kita secara tak sadar terdidik untuk bersikap egois dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar.

Jika ada orang luar yang melihat sekolah kita, mungkin mereka akan aneh melihatnya karena sangat terlihat keberagaman yang tidak enak dilihat. Apa artinya ? Semua yang dikenakan para siswa serba beragam. Pakaian, model rambut, tingkah laku, dan sebagainya. Tidak ada estetika keseragaman / kesamaan. Terlihat jelas perbedaan antara penampilan si kaya dan si miskin. Mungkin, perbedaan cara penampilan akan mempengaruhi pola pergaulan murid-muridnya.

Upacara bendera pun tak akan ada. Lalu, melalui apa sekolah mendidik murid-muridnya mencintai bangsanya sendiri ? Lewat apa sekolah dapat megajarkan Nasionalisme kepada para siswanya ? Padahal generasi muda adalah generasi penerus bangsa, generasi yang nantinya ‘kan meneruskan estafet kepemimpinan bangsa ini. Jika mulai dari jenjang sekolah saja mereka tidak diajarkan nasionalisme, Lalu siapa yang nantinya akan memimpin bangsa ini kelak ? Maukah kta jika 30 tahun mendatang kita dipimpin dengan orang yang bejat moral dan akhlak-nya ?

Bebas, berarti bebas melakukan apa saja. Tak ada larangan untuk kita berpacaran atau bahkan ‘berhubungan’ dengan lawan jenis diluar batas-batas kewajaran. Mungkin sekolah bisa dijadikan ajang berpacaran, atau parahnya lagi ajang ‘tuk berbuat maksiat. Tak ada peraturan sekolah yang mengharamkan hal itu. Rokok, narkoba, miras, mungkin akan mejadi hal yang memasyarakat dan lumrah berada di dalam sekolah. Mau ditaruh di mana moral anak bangsa ini jika itu terus dibudidayakan tanpa adanya tindakan / sangsi tegas dari sekolah ?

Organisasi sekolah yang terkenal dengan wibawanya, tempat para siswa belajar berorganisasi, nantiya akan beruah menjadi geng sekolah yang urakan tanapa aturan. Tidak ada ketua OSIS ynag disegani seperti dulu. Yang ada adalah sang bos gangster yang ditakuti oleh para murid-murid di sekolah tersebut karena dandannya yang sangar.

Mungkin, pihak sekolah akan kalang kabut dalam mengawasi para muridnya di sekolah. Tidak ada absensi, tidak ada kata terlambat bagi siswa untuk datang ke sekolah. Sehingga pihak sekolah tidak dapat mengecek bagaimana keadaan para siswanya. Sekolah tidak dapat mempertanggung jawabkan anak-anak yang telah dititipkan para orang tua kepada sekolah.

Itu semua mungkin akan terjadi hanya jika sekolah yang tidak berasrama yang tidak memiliki aturan. Jika sekolah berasrama (seperti sekolah saya, misalnya) tidak memiliki aturan yang jelas dan tegas, pastilah efek yang ditimbulkan akan lebih parah dan memprihatinkan dari yang kira duga.

Dari semua paparan di atas, kita dapat menyimpulkan sendiri antara hal-hal yang positif dan hal-hal yang negatif. Kita adalah manusia yang dibekali akal pikiran dan hati nurani. Pastilah kita dapat membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk.
Kesimpulannya . . . .

Ya, dari semua yang dari tadi kita bahas bersama, bahwa memang sekolah tanpa aturan itu adalah hal yang BODOH dan tidak berpendidikan. Tidak mendidik. Tidak beradab karena kita adalah amkhluk Tuhan yang paling sempurna. Sedangkan pada awalnya maksud diadakannya sekolah adalah sebagai salah satu wahana pengajaran dan pendidikan, sehingga sekolah seharusnya mengajarkan nilai-nilai moral juga kepada anak yang dididiknya. Bukannya memberikan kebebasan semata yang tak memikirkan dampak yang ditimbulkan